blog-resensi

Tuesday, March 30, 2010

NUKLIR UNTUK PERDAMAIAN ATAU SEBUAH ANCAMAN?


SENTIMEN IDEOLOGIS DALAM “PERANG NUKLIR” AS-IRAN*

Judul Buku : Perang Nuklir?
Penulis : Muhammad Alcaff
Penerbit : Zahra Publishing House, Jakarta
Tahun Terbit : I, September 2008
Tebal Halaman : 208 halaman
Peresensi : Mustatho’


Tidak banyak kebijakan luar negeri yang menimbulkan kemarahan dan emosi di Amerika Serikat seperti yang terjadi dalam hubungan AS dengan Iran. Hubungan AS-Iran yang memburuk sejak revolusi Islam Iran 1979 semakin meruncing dengan kebijakan luar negeri AS di bawah kepemimpinan George W. Bush atas dakwaan pengayaan Uranium Iran untuk program teknologi Pembangkit Nuklir di bawah Presiden Iran Ahmadinejad.

Di bawah kepemimpinan Ahmadinejad, Iran menjelma sebagai simbol perlawanan terhadap hegemoni Barat, AS dan kroninya. Ia mengulang fenomena Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tahun 1960-an dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad pada musim 1990-an. Ketiganya berdiri pada visi yang sama, yakni kemandirian pemerintahan dan ketidaktergantungan pada negara lain. Keemohan Soekarno untuk hutang luar negeri misalnya, adalah bertujuan membangun pemerintahan berdasarkan ekonomi kerakyatan nasionalnya, Mahathir Muhammad dengan ide persatuan negara Islam di bidang moneter, dan Ahmadinejad dengan kemandirian negara dan perjuangan mengawal ruh revolusi Islam Iran tahun 1979.

Kini di setiap saat terdengar berita-berita menarik tentang berbagai kemajuan Iran di bidang sains dan teknologi. Gagasan revolusioner tentang pembangunan Negara berdasar energy nuklir dikukuhkan pada 9 April 2007. Pada tanggal tersebut kemudian oleh pemerintahan Republik Islam Iran secara resmi dikukuhkan sebagai Hari Nasional Energi Nuklir. Berangkat dari persoalan inilah yang menjadi pemantik perseteruan yang tidak pernah terselesaikan dalam konstalasi hubungan AS-Iran sampai kini.

Perang ideologis atau keamanan dunia?

Bagi Presiden terpilih Amerika Serikat, Barrack Obama, krisis AS-Iran adalah krisis warisan yang telah ada semenjak Pemerintahan Jimmy Carter, Ronald Reagan, George Bush, Clinton, maupun George W. Bush. Krisis yang telah terbuka sejak tujuh belas tahun setelah diplomat-diplomat AS ditawan di Teheran. Semenjak saat itu, Amerika Serikat terus-menerus mempertahankan kondisi darurat nasional dengan Iran, memutus hubungan diplomatik dengan Teheran pada 1980, dan di tahun 1984 menempatkan Iran dalam daftar pendukung terorisme. Tak syak kemudian Presiden AS yang disebut paling belakangan, George W. Bush, menabuh gendang perang terhadap semua aktifitas Nuklir dan militer Iran.

Di permukaan, yang tampak dari krisis AS-Iran ini merepresentasikan sebuah perang budaya dan ideologis antara dua sistem politik dan pemerintahan yang berbeda. Namun krisis AS-Iran bisa dinilai bias kepentingan antara sentimen ideologis dan kekawatiran hegemoni tradisional baru yang bisa tumbuh di tanah Persia itu. Pada 1993, Menteri Luar Negeri Warren Cristoper menggemakan kembali pernyataan Cliton “kami melihat tindakan Iran –dengan program Nuklir- sebagai ancaman besar bagi Amerika Serikat dan keamanan internasional, dan kami berniat untuk menghentikan mereka” (pidato Presiden Clinton dalam Konggres Yahudi Dunia 1992, dikutip dari Washington Pos 26 Maret 1992).

Sebaliknya, kebijakan AS atas pelarangan program Nuklir Iran, ditanggapi dengan dinging oleh pemerintahan mullah ini. Bagi mereka teknologi Nuklir sangatlah efektif untuk kemandirian nasional. Di bidang kedokteran misalnya, teknologi Nuklir memainkan peranannya yang tidak dapat dipungkiri, untuk menentukan dan mendiagnosis sejumlah penyakit serta penyembuhannnya, untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian, juga dalam kedokteran hewan, bahan-bahan radio aktif nuklir mampu untuk meningkatkan mutu hewan. Untuk itulah rakyat Iran bergeming dengan slogannya “Energi hasteh’i haqqi musallomi mo” (Energi Nuklir adalah hak kami yang sah). (h.121)

Mengenai program pengembangan teknologi nuklir Iran ini, sang Presiden Ahmadinejad, menegaskan bahwa teknologi ini bertujuan "damai" dan tidak akan mengancam pihak manapun. Juga, Iran tidak akan menyebabkan ketidakadilan bagi setiap orang dan bangsa lain, sementara pada saat yang sama Iran tidak akan tunduk kepada ketidakadilan melalui politik hegemoni Barat.

Bagi negara Iran, penguasaan teknologi nuklir sangat strategis guna pengembangan dan kemajuan negara mereka. Kebijakan politik luar negeri Iran, terkait dengan krisis Nuklirnya, berhasil mengubah persepsi dunia akan pola superioritas AS. Krisis hubungan AS-Iran menjadi simbol perjuangan rakyat Iran menentang hegemoni Barat. Krisis Nuklir yang ada sekaligus menjadi ujian bagi rakyat dan pejabat pemerintahan Iran untuk mengukur seberapa besar tekad mereka membela kemandirian politik luar negeri negaranya.

Di tengah krisis dunia saat ini, buku ini serasa ramuan pengobatnya. Dengan resep kemandirian dan kedaulatan negara, Iran mampu menjadi contoh bagaimanakah sebuah negara memilih keluar dari krisis. Meskipun terkesan arogan, sikap Iran tidak bisa disalahkan secara total, kecuali dengan bukti tertentu kepemilikan teknologi Nuklir Iran mengancam perdamaian dunia. Pada akhirnya, buku ini bisa disebut sebagai buku sejarah negara Republik Islam Iran, melalui model kebijakan negara Iran dan kemandiriannya bisa menjadi inspirasi bagi negara lainnya, utamanya Indonesia. Buku ini seakan menyambut peralihan kekuasaan di Amerika Serikat, terkait kebijakan luar negerinya antara model kepemimpinan Presiden George W. Bush dan Presiden baru Barrack Hussein Obama. Selamat Membaca!

*Resensi Lama (2008) yang diupload kembali, tanpa penyesuaian konteks dan peristiwa terbaru.

Mustatho’, Dosen STAIS Kutai Timur, Kaltim.
Alamat Asal : Pon-Pes Al-Musthofa, Prambontergayang, RT. 02 RW 11, Soko,Tuban
Current Address: Kampus STAIS Kutai Timur, Singakarta, Sengata Utara, Kutai Timur
Hp. 0815 7878 5376/ 081254447281
Blog. http//mustathok.blogspot.com
Email. tatok.m@gmail.com

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home